13 Juli, 2008

politik


HUBUNGAN BILATERAL, ANOMALI DEMOKRASI,
CIVIL SOCIETY DAN PERKEMBANGAN OLIGARKI POLITIK
INDONESIA –AUSTRALIA
Oleh: Ahmad Baihaqi


Hubungan bilateral Indonesia dan Australia dewasa ini semakin kuat dan semakin baik. Namun demikian, diperlukan fondasi yang lebih stabil dalam menjaga hubungan tersebut dalam jangka pajang mengingat pemimpin negara bias jadi come and go. Duta Besar RI untuk Australia, TM Hamzah Thayeb pada National President Forum yang bertema Indonesia From Neighbor to Partner yang diselenggarakan oleh Australian Institute of International Affairs di Parliament House, Brisbane tanggal 27 Juni 2007, menanggapi bahwa Opening Comments Deputy Secretary DFAT, David Ritchie semakin kuat dan semakin baik hubungan kedua negara, menurut Duta Besar itu tidak hanya disebabkan oleh sejarah dan letak geografis kedua negara, tetapi juga karena kedua negara telah memiliki berbagai ragam bidang kerja sama bilateral, khususnya adanya kesepakatan Comprehensive Partnership dari kedua pemimpin negara pada tahun 2005. Selain itu, Duta Besar RI itu menyatakan keyakinannya bahwa hubungan kedua negara akan semakin kokoh jika Perjanjian Lombok sudah selesai diratifikasi oleh parlemen kedua negara.
Hubungan bilateral Indonesia dan Australia tergolong hubungan yang sangat unik, di satu sisi menjanjikan berbagai peluang kerjasama namun di sisi lain juga penuh dengan berbagai tantangan. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai perbedaan menyolok diantara kedua negara dan bangsa bertetangga, yang terkait dengan kebudayaan, tingkat kemajuan pembangunan, orientasi politik yang mengakibatkan pula perbedaan prioritas kepentingan. Tidak dipungkiri, bahwa perbedaan-perbedaan tersebut akan menciptakan berbagai masalah yang akan selalu mewarnai hubungan kedua negara di masa-masa mendatang. Hal tersebut bisa menjadi naif, jika ada yang berpendapat bahwa pada suatu titik hubungan kedua negara akan tercipta sedemikian rupa sehingga terbebas dari masalah. Sebaliknya data empiris menunjukkan bahwa hubungan kedua negara memiliki kecenderungan yang sangat fluktuatif, sehingga para pemimpin serta masyarakat kedua negara dapat dituntut untuk selalu siap dan mempunyai berbagai solusi dalam menghadapi setiap masalah yang muncul.
Dalam kunjungan negara Australia ke Indonesia yang ke-dua (Februari 2002), Perdana Menteri John Howard menyatakan bahwa Pemerintah Australia akan selalu siap untuk membantu Pemerintah RI keluar dari krisis ekonomi sambil menegaskan dukungan penuh pemerintah Australia terhadap integritas dan keutuhan wilayah RI, yang sekaligus mementahkan harapan sementara terhadap kalangan yang mengharapkan dukungan Australia untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun tidak dapat dipungkiri bahwa segelintir individu di berbagai belahan dunia, dan kemungkinan juga di Australia, beranggapan dan berharap agar Papua serta Aceh lepas dari Indonesia, tanpa menyadari dampak politis dan instabilitas keamanan yang akan ditimbulkan, terutama untuk kawasan Indonesia.
Pemerintah Australia menaruh perhatian besar terhadap setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia. Salah-satu indikatornya adalah kedatangan Perdana Menteri John Howard bersama beberapa Kepala Negara dan pejabat pemerintah negara sahabat pada tanggal 19 - 20 Oktober 2004 dalam rangka menghadiri pelantikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, merupakan sesuatu yang baru pertama kalinya terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Kunjungan tersebut merupakan kunjungan ke-sembilan John Howard selama menjadi Perdana Menteri Australia.
Selain pemerintah, berbagai kalangan pejabat di Australia juga menaruh perhatian besar kepada Indonesia yang terlihat dari berbagai sorotan masyarakat, terutama kalangan pihak media terhadap Indonesia. Penyebab utamanya, antara lain: pertama, Indonesia dipandang sebagai negara besar, sekaligus tetangga terdekat Australia, sehingga setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia selalu diikuti walau itu bisa menimbulkan dampak positif ataupun negatif terhadap Australia; kedua, 31% rakyat Australia menganggap Indonesia sebagai ancaman terbesar seperti yang ditemukan oleh hasil survei The Australian Strategic Policy Institute tahun 2001 dan kembali dipublikasikan pada tahun 2004 menjelang penyelenggaraan pemilihan umum Australia (9 Oktober 2004). Berkembangnya isu-isu sensitif antara kedua negara saat itu, antara lain Timor Timur, kasus migran gelap Kapal Tampa dan beberapa kasus serupa yang menggunakan Indonesia sebagai batu loncatan menuju Australia serta merebaknya tindakan terorisme yang memanipulasi ajaran Islam yang berpuncak pada serangan 11 September 2001 di New York, disusul peledakan bom Bali, Hotel JW Marriot (2003), dan Kuningan (2004), seolah-olah memberikan data yang benar terhadap hasil survei tersebut; dan, ketiga, media Australia memiliki beban 'psikologis' atas tewasnya 5 (lima) wartawannya di Balibo, Timor Timur (1975) yang menurut mereka dilakukan Kopassus, walaupun serangkaian penyelidikan yang dilakukan oleh Australia telah membantah tuduhan tersebut. Ketiga faktor di atas akan selalu mempersulit (inhibit) terhadap upaya-upaya Indonesia untuk membangun dan meningkatkan hubungan bilateral dengan Australia.
Upaya Mengubah Peluang Konflik Menjadi Kerjasama
Saat ini, terdapat dua isu yang memerlukan perhatian khusus oleh pemerintahan kedua Negara, yaitu ancaman terorisme dan imigran gelap. Ancaman terorisme sejauh ini telah berhasil dimanfaatkan untuk meningkatkan kerjasama, antara lain dengan penandatanganan Memorandum of Understanding on Counter Terrorism yang antara lain meliputi kegiatan tukar-menukar informasi intelijen, menghidupkan kembali kerjasama dan pengembangan kemampuan antara agen penegak hukum. Bahkan pada bulan Februari 2004, Indonesia dan Australia bersama-sama menyelenggarakan Ministerial Conference on Counter Terrorism yang dihadiri oleh para menteri negara-negara kawasan. Salah satu hasil konkret yang disepakati adalah pendirian Jakarta Center for Law Enforcement Cooperation (JCLEC) yang tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kemampuan operasional para petugas penegak hukum di kawasan guna memerangi transnational crime, khususnya terorisme.
Keengganan Indonesia menjadi bagian Pacific Solution dalam menyelesaikan masalah migran gelap mendorong penyelenggaraan Bali Regional Ministerial Conference on People Smuggling, Trafficking in Persons and Related Trans-national Crime tahun 2002 dan 2003 yang disponsori oleh Indonesia dan Australia disusul dengan penyelenggaraan Regional Ministerial Conference on Combating Money Laundering and Terrorist Financing tahun 2002. Seperti diketahui, Australia menggunakan Papua New Guinea dan Nauru untuk menampung para pengungsi gelap yang akan menuju Australia dengan cara memberlakukan exclusive immigration zones terhadap beberapa pulau terluasnya yaitu pulau Christmas, kepulauan Cocos, dan pulau Ashmore Reef, sehingga para pencari suaka yang mendarat di pulau-pulau tersebut belum dapat meng-klaim bahwa mereka telah berada di wilayah keimigrasian Australia. Dengan cara demikian, pemerintah Australia merasa berhak untuk mengirimkan para pencari suaka tersebut ke negara lain, dalam hal ini adalah Papua New Guinea dan Nauru. Perkembangan positif juga terlihat dengan kesepakatan kedua negara yakni Indoneia dan Australia untuk mencari berbagai upaya dalam meningkatkan kerjasama di bidang pertahanan dan keamanan. Tukar-menukar kunjungan para perwira tinggi kedua negara secara berkelanjutan, sementara sejumlah personil TNI mengikuti berbagai program pendidikan di Australia untuk memperdalam pengetahuan mereka.
Anomali Demokrasai Indonesia
Kebanyakan orang mungkin sudah terbiasa dengan kata demokrasi. Tapi demokrasi merupakan konsep yang masih disalah pahami dan disalahgunakan manakala rezim-rezim totaliterdan diktator militer berusaha memperoleh dukungan rakyat dengan menempelkan label demokrasi pada diri mereka sendiri. Namun kuatnya gagasan demokrasi juga telah mendorong munculnya sejumlah pengungkapan kemauan dan kecerdikan manusia yang paling mendalam dan mengharukan dalam sejarah.
Menurut kamus Bahasi Indonesia, demokrasi adalah pemerintah oleh rakyat dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat dan dijalankan langsung oleh mereka atau wakil-wakil yang mereka pilih di bawah sistem pemilihan bebas. Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Sejarah menunjukkan bahwa pemimpin formal seperti Indonesia sering kali menjalankan kekuasaan tanpa kritik. Kekuasaan pun menjadi tak terbatas bahkan tak terkendali. Tapi, secara jujur harus diakui, sedikit banyak feodalisme merupakan bagian kebudayaan timur.
Oleh pendukung teori-teori sosial Barat, hal ini banyak dikritik. Demokrasi kemudian dianggap sebagai sistem paling ampuh dan ideal dalam pengaturan hierarki kepemimpinan masyarakat. Akhirnya demokrasi pun dijajakan, bahkan dipaksakan ke semua bangsa. Indonesia modern pun menerima demokrasi yang pada intinya Soekarno dan Soeharto menerapkan demokrasi semu. Demokrasi dimanipulasi dan dijadikan senjata memperkuat patronisme.
Demokrasi kemudian semakin mendapat tempat di negara ini. Saat ini kita kembali kepada demokrasi dalam bentuk aslinya. Semua dipilih secara langsung. Tapi, apakah setelah itu secara mental pemimpin-pemimpin yang terpilih terbebas dari feodalisme? Apakah mereka terbebas dari pikiran bahwa mereka mempunyai kekuasaan sepenuhnya pada masyarakat sehingga bisa memanipulasi keinginan-keinginan grass root?
Ternyata tidak. Inilah anomali pertama demokrasi di dunia ketiga: demokrasi dan feodalisme bisa hidup di bawah satu atap. Anomali kedua, demokrasi tidak berbanding linier dengan kesejahteraan. Dengan amanat langsung dari rakyat, pemimpin mempunyai legitimasi sangat besar untuk dapat membawa rakyat ke arah yang lebih baik. Kegagalan akan berakibat pada dicabutnya mandat dari rakyat. Tapi, apa yang terjadi? Demokrasi bahkan berbanding terbalik dengan kesejahteraan.
Timor Lorosae dimata Australia
Timor Leste, negara baru berpenduduk 760.000 yang baru saja merayakan ulang tahun kedua kemerdekaannya, 41% warga negaranya hidup di bawah garis kemiskinan dan satu dari 10 anak mati di bawah umur satu tahun. (Jakarta Post, 21/5/2004).
Para pemimpin yang telah dipercaya untuk mengelola pemerintahan agar mewujudkan kesejahteraan rakyat belum juga terbukti. Kelaparan yang mengakibatkan kemarahan, kesenjangan ekonomi yang mengakibatkan kecemburuan sosial dan kerusuhan, rekrutmen pegawai negeri dan tentara yang mengakibatkan ketidakpuasan, klandestin yang menderita dan terlupakan, kekacauan dan polemik elite politik, kepentingan negara-negara luar kepada Timor Leste semuanya bercampur dalam satu momen dan satu masa. Kerusuhan di beberapa distrik dan mencapai puncak kemarahan rakyat Timor Lorosae pada tanggal 4 Desember 2002 di Dili adalah indikator kemarahan rakyat. Pengurangan personel pasukan PBB pada tahun 2004 dari 3.800 menjadi 600 tentunya akan berdampak kian buruknya pendapatan masyarakat Timor Lorosae. Pengurangan Pasukan PBB disambut Gelisah, (Kompas, 19 Mei 2004.)
Adapun Australia yang dari dulu mempunyai kepentingan politik terselubung untuk menjadikan Timor Leste sebagai buffer zone sekaligus kepentingan ekonomi atas minyak dan gas di celah Timor sehingga amat berperan dalam membebaskan Timor Lorosae dari NKRI berangsur menurun berkait masalah eksplorasi minyak dan gas. Pemerintah Timor Leste menuduh eksplorasi minyak secara sepihak oleh Australia adalah pemaksaan kehendak sebuah negara kuat terhadap negara lemah. Australia menyangkal tuduhan Timor Leste bahwa negara itu secara ilegal mendapatkan royalti dari eksplorasi minyak dan gas sebesar satu juta dollar Australia per hari.
Dalam suatu pernyataan baru-baru ini di televisi, Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer mengatakan,
“They made a very big mistake thinking the best way to handle this negotiation is by trying to shame Australia, by mounting abuse on our country accusing us of bullying when you consider all we have done for East Timor". (Jakarta Post, 21 Mei 2004).
Timor Lorosae dan Indonesia
Hubungan dengan Australia kian menurun, hubungan Timor Leste dengan Indonesia berkembang kian baik. Sejak peristiwa Santa Cruz, 12 November 1991, sampai pasca penentuan pendapat, penganut pro kemerdekaan masih bernada sinis terhadap Indonesia, tetapi sejak 2002 nada sinis itu sudah tidak terdengar lagi. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Timor Lorosae sampai pada kesadaran, Timor Leste meski secara politis sebuah negara tetapi secara sosial-budaya dan ekonomi adalah bagian tak terpisahkan dari Indonesia dan hubungan baik perlu dibina dan ditingkatkan.
Hubungan baik yang telah dirintis Gus Dur dan dilanjutkan pemerintahan Megawati serta kunjungan timbal balik para petinggi kedua negara melahirkan banyak hal sebagai konsesi hubungan kedua negara. Ada ide soal pembauran ekonomi, budaya, sosial, keamanan, pengungsi, dan pemberian beasiswa bagi mahasiswa Timor Lorosae di Indonesia. Semua keinginan itu menyentuh substansi masalah yang dihadapi kedua negara.
Saat romantisisme Pemerintah RI dan Timor Lorosae sedang menghangat tiba- tiba Pemerintah RI dikejutkan pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Ramos Horta atas lolosnya Wiranto dalam Konvensi Partai Golkar, 19 April 2004. Menlu Ramos Horta menyayangkan terpilihnya Jenderal (Purn) Wiranto. Karena hal itu akan menimbulkan masalah hubungan luar negeri Indonesia bahkan menempatkan Timor Lorosae, Australia, dan negara-negara Eropa, serta AS dalam hubungan yang kurang menyenangkan. Horta bahkan menilai Wiranto akan menjadi pemimpin kuat seperti Ferdinand Marcos, Pol Pot, dan Pinochet.
Tekanan dalam negeri Timor Lorosae, antara lain, adalah seperti disampaikan Yayasan HAK, tanggal 12 Mei 2004. Pernyataan yang ditandatangani Direktur Yayasan HAK, Jose Luis, mendesak agar Jaksa Agung Timor Leste tetap konsisten membela HAM, terutama hak-hak korban pelanggaran HAM, dan menyesalkan mosi peninjauan kembali tuntutan yang diajukan oleh Jaksa Agung kepada SPSC karena pada dasarnya adalah upaya memetieskan kasus Wiranto yang merupakan tindakan kontraproduktif terhadap upaya penegakan HAM di Timor Leste secara umum, terutama terhadap tuntutan keadilan atas kejahatan terhadap kemanusiaan oleh TNI dan milisi bentukannya pada tahun 1999.
Daftar Rujukan
Mario Florencio Vieira. 2004. Masa Depan TemoerLeste Indonesia dan Australia, (Online). Vol 1, No 1, (http://www2.compass.com/, diakses 09 juli 2008).
Joomla. 2008. Anomali Demokrasi Indonesia. (Online). Jilid 1, Hal 1, (http://http://www.indonesia/ irib.ir, diakses 09 juli 2008).
Finn,E, Chester Jr. Tanpa tahun, Apakah Demokrasi itu?, Terjemahan oleh Budi Priyatno. 1991 Amerika Serikat: United State Information Agency.

Tidak ada komentar: